WEDDING COMBAT
Prolog
“Ayo kita menikah!”
Pertama, aku kaget
setengah mati.
“Mau menikah denganku?”
Kedua kalinya aku masih sangat shock.
“Kita harus menikah!”
Ketiga kalinya aku tertawa meledak.
“Aku serius,kita akan menikah!”
Keempat kalinya aku mulai berhenti tertawa.
“Menikahlah deng….”
“Stop! Kau jangan bicara lagi, leluconmu
benar-benar konyol nona,kau pandai menghibur.”
Ini yang kelima,dan untuk pertama kalinya aku membuka mulutku.
“Aku sedang tidak membuat lelucon,menikah itu bukan untuk leleucon, tahu!”
Gadis itu berteriak padaku.
Aku hanya mengernyitkan keningku. Jujur, aku
bingung.
“Pokoknya kau harus menikah denganku!” Dia menarik tanganku.
“Eh….” Hei…hei…ada gadis gila meminta untuk menikah denganku, mehh…rasanya
ingin sekali aku berteriak seperti itu jika saja ini bukan di tengah jalan.
“Kau siapa sih?” tanyaku skeptis.
“Aku adalah calon
istrimu,oke?” jawabnya percaya diri.
“Jangan bercanda lagi deh…kau membuatku pusing, tahu!”
ucapku sambil mengibaskan tangannya
yang dari tadi bergelayut pada lenganku.
Dia ini siapa sih, tiba-tiba
saja menghadangku di tengah jalan sepulang sekolah, lalu
mengatakan hal-hal seperti menikah
dengan semangat tingkat maksimal seperti itu.
Apa ini bukan sesuatu yang aneh,seorang gadis cantik memintaku
untuk menikahinya di tengah siang bolong seperti ini. Sungguh gila dunia
sekarang ini. Atau, ini hanya salah
pendengaranku saja karena efek panas
matahari yang siang ini teriknya sungguh membahana. Ah,
tapi sepertinya tidak mungkin deh…ini kelihatannya bukan seperti bohongan kok.
“Kau kabur dari rumah sakit jiwa mana sih,nona?” atau “Kau bukan
hantu kan di tengah siang bolong seperti ini?” Pertanyaan-pertanyaan seperti
itu kini memenuhi kepalaku sambil aku mamandangi sosok gadis di depanku ini
dari ujung kaki sampai ujung kepala.
“Ayolah Richi…kau harus menikah denganku!”
Eh, dia menyebut
namaku.
Tunggu..tunggu…baru saja dia menyebut namaku?
“Oi ,kenapa kau
bisa tau namaku?” lagi-lagi aku skeptis.
“Bagaimana mungkin aku tidak tahu nama calon suamiku eoh…” jawabnya
sambil mempoutkan bibirnya.
“Sebelumya kita pernah bertemu atau bagaimana sih?” tanyaku ingin
tahu.
“Ya, kita pernah
bertemu di surga dulu saat Tuhan sedang mengabsen jodoh bagi umatnya.”jawabnya.
Mataku membulat.Ngghh, sekarang
aku yakin kalau gadis cantik di depanku ini adalah orang gila!
“Berhenti menatapku seperti itu! Aku bercanda kok…jangan berpikir
kalau aku adalah gadis gila!” ucapnya seolah bisa membaca pikiranku.
Sudahlah, aku
capek meladenimu. Lagi pula,kalau mau mengajakku main-main lihat tempat dan
jangan panas-panasan juga donk.
“Kalau nggak mau serius ya udah deh, aku
capek, mau pulang, bye!”
kataku sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
Eh,dia mengikutiku. Wah, benar-benar
deh, sialnya aku
hari ini bertemu gadis sepertimu, Umpatku dalam hati.
Gadis edan itu,,, ehmmm..maksudku gadis yang
katanya ingin menikah denganku itu mengikutiku sampai di depan rumah. Aku
sedikit berlari kecil untuk menghindarinya tapi dia justru mengikuti apa yang
kulakukan.
“Sampai kapan sih kau mau mengikutiku?” kesabaranku
sudah habis.
“Seumur hidupmu karena nanti kita akan terus
hidup bersama” jawabnya tanpa mimik bercanda sama sekali.
“Omong kosong...pulang sana,apa kau akan
mengikutuku sampai ke dalam rumah ha?”
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hebohnya
kedua orang tuaku nati kalau tahu aku pulang sekolah membawa gadis ke dalam
rumah,apalagi gadis itu terus membicarakan tentang pernikahan,itu akan jadi
malapetaka.
“Aku akan mengikutimu meskipun kamu lari ke
ujung dunia,Richi” jawabnya.
Heee...maaf ya nona,tapi aku benar-benar tidak
tahu dimana ujung dunia itu.
Tanpa menggubrisnya aku berjalan ke dalam
rumah,aku berharap dia segera menjauh setelah aku benar-benar akan masuk ke
rumah. Tapi dasar gadis yang benar-benar keras kepala..bisa-bisanya dia
mengikutiku sejauh ini.
“HEI...apa sih maumu..aku akan masuk rumah
sekarang juga,apa kau gadis yang benar-benar tidak tahu malu sampai mau
mengikutiku ke dalam rumah Ha?” aku benar-benar geregetan.
Dia hanya menatapku dalm diam. Memamerkan wajah dan matanya yang menunjukkan rasa ingin
dibelas kasihani.
Hei..wajah apa sih yang kau pasang itu,kau
membuatku ingin marah padamu tapi juga sekaligus membuatku tidak tega padamu.
Apa yang harus kulakukan? Sebenarnya kau ini maklhuk macam apa. Jangan bilang
kalau kau adalah maklhuk dari planet lain seperti di anime-anime itu...
KLIIIIKKK...
Pintu rumah terbuka. Oh.gawat..siapa yang akan
keluar dari dalam rumah. Jangan...akan gawat sekali jika ada yang tahu ada
gadis ini di sini.
Seorang wanita paruh baya keluar dari dalam
rumah. Dia adalah ibuku. Oh... ya ampun Game over sudah!
Ibu berdiri tercengang di hadapanku. Menatap
kami (aku dan gadis itu secara bergantian). Hemmm, aku tahu apa yang ada di isi
kepalamu Bu, tapi sungguh ini bukan seperti demikian..
“Ibu...” gadis itu membuka mulut.
Apa yang dia katakan? Kenapa menyebut Ibu
kepada ibu orang lain seenak jidatmu,heh...
“Ibu, Richi jahat padaku...” ucapnya lagi.
Siapa sih yang kau panggil ibu itu..
“Oh...Naomi...” ucap ibuku sambil memegang
kedua tangan gadis itu.
Naomi? Siapa Naomi? Kenapa ibu memegang tangan
gadis itu? Jangan bilang jika ibu telah mengenal gadis itu.
“Naomi, kau baik-baik saja? Kau berhasil
menemukan sekolah Richi?”
Gadis itu mengangguk kecil.
“Anak nakal! Apa yang kau lakukan pada gadis
secantik dia ha?” tanpa aba-aba ibu sudah mengomeliku.
Siapa yang ibu sebut anak nakal sih..
“Tunggu dulu ibu, ini sebenarnya ada apa sih?”
tanyaku polos karena aku betul-betul tidak tahu sedang dalam kondisi macam apa
sekarang.
“Kau apakan Naomi, huh?” tanya ibu sambil menatapku seperti menatap
setan.
“Aku tidak mengapa-apakannya tuh.. eh,
tunggu.. memangnya Naomi itu siapa?” tanyaku.
Ibu menaikkan alisnya. Ia melirik gadis itu
lalu menatapku bengis.
“Benar-benar kau ini.. dia calon istrimu.”
Kata ibu sambil menonyor kepalaku.
Calon istri? Kenapa ibuku juga berkata seperti
itu sih.
Ibu masuk ke dalam rumah diikuti gadis itu,
dan aku mengekor di belakang mereka dengan menyimpan banyak pertanyaan di otak
kecilku. Di ruang tamu, ayah sedang mengobrol dengan seorang paman yang
kuperkirakan usianya hampir sama dengannya, tapi paman itu mengenakan setelan
jas yang menurutku pasti bermerek karena beda sekali dengan jas-jas yang biasa
digunakan oleh ayah untuk pergi ke kantor.
Ibu duduk di samping ayah, dan gadis itu duduk
di samping paman itu. Aku tidak tahu sedang berada dalam situasi macam apa ini,
jadi aku memutuskan untuk masuk ke kamarku saja, aku tidak mau berurusan dengan
orang-orang yang tidak kukenal. Tapi baru saja aku akan melangkah, ibu
berteriak padaku dan mengisyaratkan aku untuk duduk di kursi yang masih kosong.
Aku tidak mau sebenaranya, tapi tatapan ibu seolah akan mencabikku jika aku tak
duduk sekarang juga.
Paman itu memandangiku dari tadi, dengan
tatapan...ehhmmm..yang sulit aku jelaskan, ishhh, tatapan macam apa sih itu,
bikin aku jijik saja. Aku membuang muka darinya dan beralih menatap ibu dan
ayah secara bergantian untuk meminta penjelasan. Tapi ibu dan ayah hanya
senyum-senyum saja seolah mereka sedang menyaksikan anaknya menang sebuah
turnamen. Turnamen apaan, aku di sini asing banget, tahu.
“Jadi, inikah Richi? Ya benar, aku pasti tidak
salah orang kan?” paman itu bertanya.
Eh, ternyata dia tahu namaku.
“Ya tentu, tuan. Ini Richi yang tuan
inginkan.” Balas ibuku.
Apa? Inginkan? Apa mauksudnya dengan aku, Richi,
yang diinginkan oleh si paman itu?
“Tentu. Aku sangat puas. Ya...walaupun tidak
seratus persen sama dengan yang ada dalam bayanganku.” Kata paman itu sambil
mengelus jengotnya, tak lupa dia menyeringai padaku.
Ihhh, menjijikkan.
“Jadi, bisa kita tentukan tanggalnya?” tanya
paman itu lagi.
“Sekarang? Oh..tentu..tentu..kami hanya perlu
mengikuti tuan, lakukan sesuka anda.” Jawab ayahku.
Tanggal apalagi ini?
“Bagaimana Richi, apa kau juga setuju dengan
ayah?” tanya paman itu.
Ayah?? Ayahku maksudnya?
“A...ayah??” aku memandang ayahku ragu-ragu.
“Ah..bukan, A-yah, maksudnya” kata paman itu
sambil menunujukk dirinya sendirinya.
Sejak kapan dia mejadi ayahku?? Eh,
tungggu..apa makasudnya dia akan mengadopsiku. Oi, tega-teganya orang tuaku
menyerahkanku pada orang aneh seperti ini. Setidaknya jika mereka akan
menyerahkan aku pada orang lain, biarkan lah aku diadopsi oleh orang yang kaya
dan normal. Tapi, apa sih salahku pada kedua orang tuaku, kenapa mereka harus
menyerahkan aku pada orang tua lain.
“Richi??” suara ibu menyadarkanku.
“Aku tidak tahu arah pembicaraan kalian dan
sepertinya aku duduk di sini juga tidak ada gunanya, jadi sebaiknya aku pergi
saja, permisi” kataku lalu menjijing tasku dan berdiri.
“Ya..ya..ya..Richi, kau tidak boleh pergi.
Kaulah bintang utamanya di sini.” Kata ayah mencegahku.
Bintang utama? Bintang utama apanya, justru
kalau aku terus di sini aku hanya akan kelihatan semakin bodoh, mana ada
bintang utama yang bodoh.
“Jangan merasa bodoh, Richi, kau pasti sudah
tahu alasan mengapa kau harus tetap duduk di sini, aku sudah menjelaskannya
padamu di jalan tadi.” Kata gadis itu tiba-tiba.
Hey, nona..memangnya kau ini benar-benar
seorang peramal ya..kenapa tahu sekali yang ada dalam pikiranku. Lagi pula, aku
ini tahu tentang apa, dan kau menjelaskan tentang apa, kau sama sekali tidak
menjelaskan apa pun padaku, yang kau lakukan sepanjang perjalanan tadi hanyalah
merengek memintaku untuk menikahimu.
MENIKAHIMU.
MENIKAHIMU.
MENIKAHIMU.
MENIKAHIMU.
MENIKAHIMU.
“MENIKAHLAH DENGANKU, RICHI.”
ME..NI..KA..HI..MU...
Apa?? Tunggu,,tunggu...bukan. Pasti bukan ini
kan?? Bukan kan?? Benar-benar bukan kan?
Aku memegangi kedua kepalaku.
“Ada apa Richi? Kau meyadari sesuatu? Ya,
pasti kau sudah tahu jawabannya. Ya, seperti itulah. Memang seperti itu. Tepat
seperti apa yang kau pikirkan, Richi.” Kata gadis itu.
“Hei, memangnya kau tahu apa yang sedang
kupikirkan apa?” bentakku.
“Tentu saja. Semua itu terlihat dari wajahmu,
dari matamu, Richi.” Balas gadis itu lalu menyeringai cantik, ah..tidak, lebih
tepatnya dia menyeringai licik.
Mungkin kau ini keturunan rubah. Aku harus
jauh-jauh darimu. Hanya dengan melihatmu aku sudah tahu aku sedang berada dalam
bahaya, aku sudah merasakan aura kesialan setiap kali ada di sekitarmu.
Menjauhlah dariku.
“Aku tidak tahu apa-apa dan aku tidak mau
tahu!” teriakku.
“Kau kan memang sudah tahu Richi, sudah tidak
perlu pura-pura lagi” kata gadis itu.
“Kau masih malu-malu begitu...ah, manisnya”
kata paman itu sambil matanya berbinar-binar.
Sumpah, itu benar-benar menjijikkan.
“Richi kami memang seperti itu, maafkan dia
tuan.” Kata ayahku.
“Ya tentu saja, tidak masalah. Dia begitu
manis jadi tidak masalah. Kurasa aku tahu kenapa putriku begitu menyukainya.”
Jawab paman itu.
“Kurasa biasanya Richi lebih manis lagi ayah.”
Jawab gadis itu seolah ia benar-benar mengenalku, padahal ini adalah pertemuan
pertama kami. Keadaan macam apa sih ini.
Kepalaku berdenyut-denyut, kalau ini adalah
soal pilihan ganda kemudian terdapat option pingsan, kemungkinan besar, ah,
bukan, sudah tentu aku akan memilih option tersebut saat ini juga. Kalau saja
ini adalah sebuah game virtual, aku pasti telah menekan tombol escape dari awal
atau meneriakkan kata escape semampu pita suaraku berteriak. Andai saja. Tapi
ini nyata, aku pun masih tidak bisa percaya bahwa ini nyata. Kenyataan macam
apa ini, cihhh, membuatku gila, dan rasanya benar-benar mau muntah.
Gadis itu, paman itu, bahkan kedua orang
tuaku, tidak ada satupun dari mereka yang memberikanku titik terang dari semua
kebinguangan yang sepertinya hanya melandaku seorang.
Next Chapter 1