efek

">

Sabtu, 24 Desember 2016


ALEXITHYMIA



“Apalah artinya sebuah pengakuan?” batinku. Tidak kusangka kamu dapat membacanya, entah dari sorot mataku atau dari rona wajahku. Tapi kamu bisa membaca semuanya, kekhawatiranku, kesedihanku, dan gejolak hatiku. Sial, kamu ini manusia macam apa? Tidak bisakah kamu berhenti menebak-nebak dengan apa yang sedang kupikirkan? Aku yakin kamu sudah tahu kalau semuanya tidak akan jauh-jauh tentang dirimu.

Kamu sering bilang kalau aku ini bodoh, tapi tidak pernah sekalipun menertawaiku. Tapi malam ini, kamu tersenyum setelah mengataiku bodoh sebanyak tiga kali. Apakah aku selucu itu? Apakah aku terlalu menyedihkan di matamu? Aku mencoba menjadi dirimu, menebak-nebak isi kepalamu, tapi aku tidak bisa. Aku selalu gagal untuk menjadi dirimu. Apa yang sedang kau pikirkan aku tidak pernah tahu.

Aku memang sangat ingin tahu, tapi aku tidak pernah ingin menuntutmu untuk memberitahuku, karena aku takut kamu juga akan menuntutku untuk melakukan hal yang sama. Aku selalu kesulitan dalam mengungkapkan, aku selalu takut dalam mengakui, kamu tahu, tapi kamu tetap tidak mau mengerti.

Kamu selalu berkata, bagaimana seseorang tahu apa yang kau rasakan jika tidak kau sendiri yang mengungkapkan. Aku tidak peduli dengan orang lain mau mengerti atau tidak, bagiku yang penting adalah kamu yang mengerti. Tapi kamu selalu menekankan agar aku mengungkapkan, bukannya kau sudah tahu, untuk apa aku ungkapkan? Aku sungguh tidak mengerti, sebenarnya apa maumu?

Kamu selalu tahu apa yang kumau, tapi kamu juga selalu pura-pura tidak tahu, kamu menungguku untuk berterus terang padamu, membuat mataku gelisah, jantungku berpacu, dan darahku mendesir. Matamu tersenyum saat melihatku seperti itu. Kamu melipat jaketmu, berdiri, lalu menepuk pundakku, “Tidak bisakah kau tinggalkan keangkuhanmu saat kau mencoba memberikan perasaanmu pada seseorang?”.

Kamu pergi. Aku tidak bisa menghentikanmu, juga mengejarmu, karena kamu benar. Aku terlalu angkuh untuk mengakui perasaanku, bahkan aku terlalu munafik untuk bisa jujur pada diriku sendiri.

Alexithymia (n) difficulty describing feelings to other people


Kamis, 22 Desember 2016




Zweisamkeit



Apa kabar, rindu. Kamu sudah makan? Aku sudah minum. Katanya kemarin kamu tidak bisa tidur, aku kemarin bermimpi aneh. Ada kecoa di bawah kakiku, lalu kamu menangkap cacing untuk kau umpankan pada ikan. Tidak tahu ya, rasanya es krim itu enak sekali. Apalagi kalau masih hangat, ya ampun aku suka sekali melihat kamu yang pelan-pelan meniup kopi.

Hei, ingat saat cuaca tidak cerah waktu itu? Kamu selalu melarangku membawa payung. Katamu, hujan tidak akan membuatku sakit, tapi kamu bisa. Kamu suka sekali bercanda dan aku pasti menangis karenanya. Saat aku membaca buku dan kamu menulis cerita, saat itu, seolah kita sedang menerobos ruang yang berbeda, padahal ujungnya mungkin saja kita bisa berjumpa. Bukannya setiap ruang pasti memiliki pintu atau jendela?

Kamu suka menyusuri jalan dengan mengayuh sepeda, ya tidak apa-apa, selagi aku bisa mengejarmu dengan jalan kaki saja, toh aku juga bisa mengempeskan bannya. Aku ingat saat kamu mengatakan bahwa mawar itu indah, indah sekali sampai aku lebih suka menggemgam batu karena takut berdarah. Lalu kamu bilang padaku kalau aku ini sangat bodoh, katamu mawar tidak akan mampu melukaiku karena hanya kamu yang mampu.

Aku pikir kamu itu keturunan drakula karena pada saat cinderela meniggalkannya pada tengah malam, dia pasti tidak akan apa-apa. Aku cinderela tanpa sepatu kaca dan kamu drakula yang berkaca mata. Pernah sekali kita masuk ke dalam rumah hantu, aku berteriak lalu kamu tertawa. Bahagia sekali karena kamu bilang jika sebenarnya hantu itu tidak menyeramkan. Ya aku tahu, karena bagiku yang paling menyeramkan itu adalah kamu. Hantu sama sekali tidak menakutkan katamu, ya aku paham, karena yang paling menakutkan bagiku adalah saat kamu benar-benar mampu menyakitiku.
Zweisamkeit
(n) the togetherness of two people; a feeling of closeness or affection of being with someone

Selasa, 13 September 2016


TENTANG BUNGA DAN BUKU: KEKASIHKU



Di sudut sebuah ruangan, seorang lelaki berhidung mbangir tengah asik menimang-nimang kekasihnya. Dibelainya wajah kekasihnya itu dengan tatapan penuh cinta. Lelaki itu sangat menghormati kekasihnya, tak pernah sekalipun ia mencoba untuk mencumbu kekasihnya itu. Sudah sekian lama ia selalu ditemani oleh kekasihnya itu, kapan pun dan dimana pun, tiada dapat ia melepas genggaman tangannya dari kekasihnya itu. Sebut saja kekasihnya itu adalah buku. Sesuatu yang selalu membawanya pergi jauh, mengelana ke dalam banyak dunia yang jauh dari sudut ruangan kecil itu. Dari kekasihnya itu, ia telah banyak melintasi dunia romantisme, kolonialisme, idealisme, liberalisme, bahkan rasisme.

Tetapi pada suatu ketika, di suatu sore sehabis gerimis, ketika ia menengok ke langit di mana batas cakrawala tengah menguning sepenuhnya, lelaki itu menemukan sesuatu yang sepintas lebih indah dari kekasihnya. Sekuntum mawar merah yang sedang mencoba untuk mekar. Warna merah yang begitu pekat menggodaya untuk melihat, bau harumnya yang begitu memikat menggodanya untuk mendekat.

Laki-laki itu kemudian ke luar dari ruangan kecilnya, mendekati mawar itu. Sekedar mendekat membuatnya telah sepenuhnya terpikat. Di sela-sela sisa gerimis itu, ia ulurkan tangan halusnya untuk menggapai tangkai mawar itu. Dipetiknya mawar itu dengan harapan bahwa malam nanti ia akan melihat kecantikan alami dari mekarnya sekuntum mawar merah.

Setalah ia membawa mawar itu masuk ke dalam ruangannya, ia tak kuasa untuk tidak melihat dan menimang mawar itu. Hidung mbangirnya yang belum pernah ia gunakan untuk mencumbu kekasihnya, si buku, tengah asik mencumbu kelopak-kelopak mawar itu. Lelaki itu hanyut dalam cinta sekali pandangnya pada si mawar. Ia sedikit lupa pada bau setiap halaman buku yang biasanya ia hirup dengan nafas tenang.

Lelaki itu lupa, buku di mejanya tengah menunggu untuk mengajaknya kembali berkelana. Sampai malam tiba, buku di mejanya belum juga di sentuhnya kembali. Tidak seperti biasanya, sebelum melelapkan mata si lelaki biasanya selalu asik bercengkerama bersama kekasih lamanya, membaca bait demi bait cerita atau pun rumus-rumus kehidupan sebagai pengantar tidurnya. Tapi kali ini berbeda, ia hanya ingin melihat kepekatan indah dari kekasih barunya.

Setelah cukup mengantuk, lelaki itu meletakkan mawar merahnya di atas buku yang dari sore tadi sudah dibukanya, berharap bahwa esok pagi ia dapat melihat mawar merah itu mekar sepenuhnya.

Esok paginya, hati si lelaki senang bukan main. Mawar itu telah mekar dengan indah, baunya semerbak memenuhi sudut ruang kecil itu. Ditimang dan dicumbunya si mawar dengan hati yang suka cita.

Hingga sore kembali menjelang, si lelaki masih memandangi kekasih mawarnya. Tapi entah kenapa, ada yang berbeda dari mawar di sore itu. Warnanya tak lagi merah pekat, baunya tak lagi begitu memikat. Lelaki itu mengernyitkan keningnya.

“Layu.” Ia mengingat sebuah kata dari sebuah buku yang pernah dibacanya.

Mungkinkah mawar ini sudah layu? Pikirnya.

“Lalu mati.” Ia kembali mengingat sebuah frasa yang pernah ia baca di sebuah buku miliknya.

Secepat itukah mawar ini akan mati? Pikirnya lagi.

Lelaki itu memutar dan membolak-balik mawarnya, berusaha mencari fakta yang berlawanan dengan kata batinnya.

“Auuuuuhhh.” Serunya. Kemudian darah segar keluar dari jari manisnya. Ia baru sadar bahwa ia telah tertusuk duri di sekitar tangkai mawar itu.

Ia meringis, tanpa sadar telah menjatuhkan mawar itu dari tangannya. Mawar itu jatuh tepat di atas buku. Lelaki itu menatapnya, ia baru ingat pada bukunya, kekasih setianya. Tiba-tiba ia merindukan bukunya yang tidak akan pernah layu atau pun mati dalam genggamannya.

Lelaki itu membuka halaman demi halaman buku, tapi ia lupa, darah masih ada di jarinya, akibatnya beberapa halaman bukunya ternodai oleh darahnya. Ia meletakkan kembali bukunya di meja, keluar ruangan untuk membasuh lukanya.

Tak berapa lama, pintu berderit, si lelaki masuk, duduk di depan meja dan membaca halaman buku yang telah dibukanya tadi. Ia membaca dengan bersuara,

Seindahnya-indahnya yang terlihat, masih ada yang lebih indah dari yang bisa dilihat.

Seharum-harumya wangi yang bisa kau cium, tak seharum wangi yang biasa kau cium.

Keindahan dan kecantikan abadi bukanlah keindahan dan kecantikan yang dapat kau tunjukkan pada semua orang, karena sesungguhnya keindahan dan kecantikan yang bisa dilihat oleh semua orang adalah kecantikan yang telah diumbar, dan itu sifatnya tidak akan bertahan lama.

Seperti mawar yang selalu menggoda kumbang-kumbang untuk mendekat dan menghisap, mereka akan cepat layu dan mati.

Cinta bukanlah hal yang seperti itu, cinta tidak bisa diumbar, cinta tidak bisa begitu saja mati dan layu dalam hitungan hari.

Cinta itu seperti buku, tidak bisa kau tebak dengan hanya melihat sampulnya. Kau harus membacanya untuk melihat apa isinya.

Di halaman pertama kita akan bertemu, halaman selanjutnya dan selanjutnya lagi akan selalu tereja namaku dan namamu. Lalu di halaman terakhir nanti kita akan bersatu. Tapi ingat, akhir dari sebuah buku bukanlah akhir yang sesungguhnya, tapi itu adalah awal dari sebuah hal yang baru.



Lelaki itu diam sejenak, kemudian berpikir, ternyata semuanya telah tertulis di dalam buku.

Ya, kemarin dia belum sempat membacanya. Lelaki itu berbisik pelan, “Kuharap aku akan menemukan gadis yang seperti buku.”

Kemudian ia melanjutkan membaca buku itu dan membiarkan mawar merah layu dan membusuk di sudut ruangan itu.



SELESAI.

Senin, 20 Juli 2015

WEDDING COMBAT

WEDDING COMBAT
Prolog

“Ayo kita menikah!”
Pertama, aku kaget setengah mati.
“Mau menikah denganku?”
Kedua kalinya aku masih sangat shock.
“Kita harus menikah!”
Ketiga kalinya aku tertawa meledak.
“Aku serius,kita akan menikah!”
Keempat kalinya aku mulai berhenti tertawa.
“Menikahlah deng….”
“Stop! Kau jangan bicara lagi, leluconmu benar-benar konyol nona,kau pandai menghibur.”  Ini yang kelima,dan untuk pertama kalinya aku membuka mulutku.
“Aku sedang tidak membuat lelucon,menikah itu bukan untuk leleucon, tahu!” Gadis itu berteriak padaku.
Aku hanya mengernyitkan keningku. Jujur, aku bingung.
“Pokoknya kau harus menikah denganku!” Dia menarik tanganku.
“Eh….” Hei…hei…ada gadis gila meminta untuk menikah denganku, mehh…rasanya ingin sekali aku berteriak seperti itu jika saja ini bukan di tengah jalan.
“Kau siapa sih?” tanyaku skeptis.
“Aku  adalah calon istrimu,oke?” jawabnya percaya diri.
“Jangan bercanda lagi deh…kau membuatku pusing, tahu!” ucapku sambil mengibaskan tangannya yang dari tadi bergelayut pada lenganku.
Dia ini siapa sih, tiba-tiba saja menghadangku di tengah jalan sepulang sekolah, lalu mengatakan hal-hal  seperti menikah dengan semangat tingkat maksimal seperti itu.
Apa ini bukan sesuatu yang aneh,seorang gadis cantik memintaku untuk menikahinya di tengah siang bolong seperti ini. Sungguh gila dunia sekarang ini. Atau, ini hanya salah pendengaranku saja karena efek panas matahari yang siang ini teriknya sungguh membahana. Ah, tapi sepertinya tidak mungkin deh…ini kelihatannya bukan seperti bohongan kok.
“Kau kabur dari rumah sakit jiwa mana sih,nona?” atau “Kau bukan hantu kan di tengah siang bolong seperti ini?” Pertanyaan-pertanyaan seperti itu kini memenuhi kepalaku sambil aku mamandangi sosok gadis di depanku ini dari ujung kaki sampai ujung kepala.
“Ayolah Richi…kau harus menikah denganku!”
Eh, dia menyebut namaku.
Tunggu..tunggu…baru saja dia menyebut namaku?
“Oi ,kenapa kau bisa tau namaku?”  lagi-lagi aku skeptis.
“Bagaimana mungkin aku tidak tahu nama calon suamiku eoh…” jawabnya sambil mempoutkan bibirnya.
“Sebelumya kita pernah bertemu atau bagaimana sih?” tanyaku ingin tahu.
“Ya, kita pernah bertemu di surga dulu saat Tuhan sedang mengabsen jodoh bagi umatnya.”jawabnya.
Mataku membulat.Ngghh, sekarang aku yakin kalau gadis cantik di depanku ini adalah orang gila!
“Berhenti menatapku seperti itu! Aku bercanda kok…jangan berpikir kalau aku adalah gadis gila!” ucapnya seolah bisa membaca pikiranku.
Sudahlah, aku capek meladenimu. Lagi pula,kalau mau mengajakku main-main lihat tempat dan jangan panas-panasan juga donk.
“Kalau nggak mau serius ya udah deh, aku capek, mau pulang, bye!” kataku sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
Eh,dia mengikutiku. Wah, benar-benar deh, sialnya aku hari ini bertemu gadis sepertimu,  Umpatku dalam hati.
Gadis edan itu,,, ehmmm..maksudku gadis yang katanya ingin menikah denganku itu mengikutiku sampai di depan rumah. Aku sedikit berlari kecil untuk menghindarinya tapi dia justru mengikuti apa yang kulakukan.
“Sampai kapan sih kau mau mengikutiku?” kesabaranku sudah habis.
“Seumur hidupmu karena nanti kita akan terus hidup bersama” jawabnya tanpa mimik bercanda sama sekali.
“Omong kosong...pulang sana,apa kau akan mengikutuku sampai ke dalam rumah ha?”
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hebohnya kedua orang tuaku nati kalau tahu aku pulang sekolah membawa gadis ke dalam rumah,apalagi gadis itu terus membicarakan tentang pernikahan,itu akan jadi malapetaka.
“Aku akan mengikutimu meskipun kamu lari ke ujung dunia,Richi” jawabnya.
Heee...maaf ya nona,tapi aku benar-benar tidak tahu dimana ujung dunia itu.
Tanpa menggubrisnya aku berjalan ke dalam rumah,aku berharap dia segera menjauh setelah aku benar-benar akan masuk ke rumah. Tapi dasar gadis yang benar-benar keras kepala..bisa-bisanya dia mengikutiku sejauh ini.
“HEI...apa sih maumu..aku akan masuk rumah sekarang juga,apa kau gadis yang benar-benar tidak tahu malu sampai mau mengikutiku ke dalam rumah Ha?” aku benar-benar geregetan.
Dia hanya menatapku dalm diam. Memamerkan  wajah dan matanya yang menunjukkan rasa ingin dibelas kasihani.
Hei..wajah apa sih yang kau pasang itu,kau membuatku ingin marah padamu tapi juga sekaligus membuatku tidak tega padamu. Apa yang harus kulakukan? Sebenarnya kau ini maklhuk macam apa. Jangan bilang kalau kau adalah maklhuk dari planet lain seperti di anime-anime itu...
KLIIIIKKK...
Pintu rumah terbuka. Oh.gawat..siapa yang akan keluar dari dalam rumah. Jangan...akan gawat sekali jika ada yang tahu ada gadis ini di sini.
Seorang wanita paruh baya keluar dari dalam rumah. Dia adalah ibuku. Oh... ya ampun Game over sudah!
Ibu berdiri tercengang di hadapanku. Menatap kami (aku dan gadis itu secara bergantian). Hemmm, aku tahu apa yang ada di isi kepalamu Bu, tapi sungguh ini bukan seperti demikian..
“Ibu...” gadis itu membuka mulut.
Apa yang dia katakan? Kenapa menyebut Ibu kepada ibu orang lain seenak jidatmu,heh...
“Ibu, Richi jahat padaku...” ucapnya lagi.
Siapa sih yang kau panggil ibu itu..
“Oh...Naomi...” ucap ibuku sambil memegang kedua tangan gadis itu.
Naomi? Siapa Naomi? Kenapa ibu memegang tangan gadis itu? Jangan bilang jika ibu telah mengenal gadis itu.
“Naomi, kau baik-baik saja? Kau berhasil menemukan sekolah Richi?”
Gadis itu mengangguk kecil.
“Anak nakal! Apa yang kau lakukan pada gadis secantik dia ha?” tanpa aba-aba ibu sudah mengomeliku.
Siapa yang ibu sebut anak nakal sih..
“Tunggu dulu ibu, ini sebenarnya ada apa sih?” tanyaku polos karena aku betul-betul tidak tahu sedang dalam kondisi macam apa sekarang.
“Kau apakan Naomi, huh?”  tanya ibu sambil menatapku seperti menatap setan.
“Aku tidak mengapa-apakannya tuh.. eh, tunggu.. memangnya Naomi itu siapa?” tanyaku.
Ibu menaikkan alisnya. Ia melirik gadis itu lalu menatapku bengis.
“Benar-benar kau ini.. dia calon istrimu.” Kata ibu sambil menonyor kepalaku.
Calon istri? Kenapa ibuku juga berkata seperti itu sih.
Ibu masuk ke dalam rumah diikuti gadis itu, dan aku mengekor di belakang mereka dengan menyimpan banyak pertanyaan di otak kecilku. Di ruang tamu, ayah sedang mengobrol dengan seorang paman yang kuperkirakan usianya hampir sama dengannya, tapi paman itu mengenakan setelan jas yang menurutku pasti bermerek karena beda sekali dengan jas-jas yang biasa digunakan oleh ayah untuk pergi ke kantor.
Ibu duduk di samping ayah, dan gadis itu duduk di samping paman itu. Aku tidak tahu sedang berada dalam situasi macam apa ini, jadi aku memutuskan untuk masuk ke kamarku saja, aku tidak mau berurusan dengan orang-orang yang tidak kukenal. Tapi baru saja aku akan melangkah, ibu berteriak padaku dan mengisyaratkan aku untuk duduk di kursi yang masih kosong. Aku tidak mau sebenaranya, tapi tatapan ibu seolah akan mencabikku jika aku tak duduk sekarang juga.
Paman itu memandangiku dari tadi, dengan tatapan...ehhmmm..yang sulit aku jelaskan, ishhh, tatapan macam apa sih itu, bikin aku jijik saja. Aku membuang muka darinya dan beralih menatap ibu dan ayah secara bergantian untuk meminta penjelasan. Tapi ibu dan ayah hanya senyum-senyum saja seolah mereka sedang menyaksikan anaknya menang sebuah turnamen. Turnamen apaan, aku di sini asing banget, tahu.
“Jadi, inikah Richi? Ya benar, aku pasti tidak salah orang kan?” paman itu bertanya.
Eh, ternyata dia tahu namaku.
“Ya tentu, tuan. Ini Richi yang tuan inginkan.” Balas ibuku.
Apa? Inginkan? Apa mauksudnya dengan aku, Richi, yang diinginkan oleh si paman itu?
“Tentu. Aku sangat puas. Ya...walaupun tidak seratus persen sama dengan yang ada dalam bayanganku.” Kata paman itu sambil mengelus jengotnya, tak lupa dia menyeringai padaku.
Ihhh, menjijikkan.
“Jadi, bisa kita tentukan tanggalnya?” tanya paman itu lagi.
“Sekarang? Oh..tentu..tentu..kami hanya perlu mengikuti tuan, lakukan sesuka anda.” Jawab ayahku.
Tanggal apalagi ini?
“Bagaimana Richi, apa kau juga setuju dengan ayah?” tanya paman itu.
Ayah?? Ayahku maksudnya?
“A...ayah??” aku memandang ayahku ragu-ragu.
“Ah..bukan, A-yah, maksudnya” kata paman itu sambil menunujukk dirinya sendirinya.
Sejak kapan dia mejadi ayahku?? Eh, tungggu..apa makasudnya dia akan mengadopsiku. Oi, tega-teganya orang tuaku menyerahkanku pada orang aneh seperti ini. Setidaknya jika mereka akan menyerahkan aku pada orang lain, biarkan lah aku diadopsi oleh orang yang kaya dan normal. Tapi, apa sih salahku pada kedua orang tuaku, kenapa mereka harus menyerahkan aku pada orang tua lain.
“Richi??” suara ibu menyadarkanku.
“Aku tidak tahu arah pembicaraan kalian dan sepertinya aku duduk di sini juga tidak ada gunanya, jadi sebaiknya aku pergi saja, permisi” kataku lalu menjijing tasku dan berdiri.
“Ya..ya..ya..Richi, kau tidak boleh pergi. Kaulah bintang utamanya di sini.” Kata ayah mencegahku.
Bintang utama? Bintang utama apanya, justru kalau aku terus di sini aku hanya akan kelihatan semakin bodoh, mana ada bintang utama yang bodoh.
“Jangan merasa bodoh, Richi, kau pasti sudah tahu alasan mengapa kau harus tetap duduk di sini, aku sudah menjelaskannya padamu di jalan tadi.” Kata gadis itu tiba-tiba.
Hey, nona..memangnya kau ini benar-benar seorang peramal ya..kenapa tahu sekali yang ada dalam pikiranku. Lagi pula, aku ini tahu tentang apa, dan kau menjelaskan tentang apa, kau sama sekali tidak menjelaskan apa pun padaku, yang kau lakukan sepanjang perjalanan tadi hanyalah merengek memintaku untuk menikahimu.
MENIKAHIMU.
MENIKAHIMU.
MENIKAHIMU.
MENIKAHIMU.
MENIKAHIMU.
“MENIKAHLAH DENGANKU, RICHI.”
ME..NI..KA..HI..MU...
Apa?? Tunggu,,tunggu...bukan. Pasti bukan ini kan?? Bukan kan?? Benar-benar bukan kan?
Aku memegangi kedua kepalaku.
“Ada apa Richi? Kau meyadari sesuatu? Ya, pasti kau sudah tahu jawabannya. Ya, seperti itulah. Memang seperti itu. Tepat seperti apa yang kau pikirkan, Richi.” Kata gadis itu.
“Hei, memangnya kau tahu apa yang sedang kupikirkan apa?” bentakku.
“Tentu saja. Semua itu terlihat dari wajahmu, dari matamu, Richi.” Balas gadis itu lalu menyeringai cantik, ah..tidak, lebih tepatnya dia menyeringai licik.
Mungkin kau ini keturunan rubah. Aku harus jauh-jauh darimu. Hanya dengan melihatmu aku sudah tahu aku sedang berada dalam bahaya, aku sudah merasakan aura kesialan setiap kali ada di sekitarmu. Menjauhlah dariku.
“Aku tidak tahu apa-apa dan aku tidak mau tahu!” teriakku.
“Kau kan memang sudah tahu Richi, sudah tidak perlu pura-pura lagi” kata gadis itu.
“Kau masih malu-malu begitu...ah, manisnya” kata paman itu sambil matanya berbinar-binar.
Sumpah, itu benar-benar menjijikkan.
“Richi kami memang seperti itu, maafkan dia tuan.” Kata ayahku.
“Ya tentu saja, tidak masalah. Dia begitu manis jadi tidak masalah. Kurasa aku tahu kenapa putriku begitu menyukainya.” Jawab paman itu.
“Kurasa biasanya Richi lebih manis lagi ayah.” Jawab gadis itu seolah ia benar-benar mengenalku, padahal ini adalah pertemuan pertama kami. Keadaan macam apa sih ini.
Kepalaku berdenyut-denyut, kalau ini adalah soal pilihan ganda kemudian terdapat option pingsan, kemungkinan besar, ah, bukan, sudah tentu aku akan memilih option tersebut saat ini juga. Kalau saja ini adalah sebuah game virtual, aku pasti telah menekan tombol escape dari awal atau meneriakkan kata escape semampu pita suaraku berteriak. Andai saja. Tapi ini nyata, aku pun masih tidak bisa percaya bahwa ini nyata. Kenyataan macam apa ini, cihhh, membuatku gila, dan rasanya benar-benar mau muntah.
Gadis itu, paman itu, bahkan kedua orang tuaku, tidak ada satupun dari mereka yang memberikanku titik terang dari semua kebinguangan yang sepertinya hanya melandaku seorang.

Next Chapter 1

Kamis, 04 Juni 2015

LOST CANDY

LOST CANDY
Oleh : Rena Widyaningrum


Sebuah permen berada dalam genggaman tanganku.
Selama ini permen itu selalu ku pegang dan ku simpan dalam genggaman. Aku tak tahu bagaimana aku mendapatkannya dan sekarang aku juga tak tahu bagaimana aku bisa kehilangannya. Ketika permen itu masih hangat berada dalam genggamanku, bungkusnya selalu rapi dan licin akan sentuhanku. Tanganku yang kurus ini selalu menjaganya dari debu-debu yang selalau mencoba untuk menjamahnya, menjaganya dari sengatan mentari yang mencoba memudarkan warnanya, serta menjaganya dari hujan yang berusaha untuk mengaburkan rasanya.
Selama ini aku selalu mempertanyakan akan kepemilikan permen tersebut, aku tak berani menggegamnya terlalu erat, namun aku juga tak berani melepasnya atau pun membuangnya dari tanganku. Aku pun tak membiarkan para semut mencium baunya dengan moncong mereka yang serakah.
Aku tak berani membuka bungkus permen itu, bahkan aku sama sekali tidak pernah mencoba untuk membukanya, mungkin karena aku terlalu takut untuk kehilangannya. Meskipun ia berada dalam genggaman tanganku, namun aku takut untuk memandangnya dalam waktu yang lama, aku takut keinginanku untuk memilikinya tak bisa ku tata. Aku selalu menjaga mata dan hatiku darinya.
Aku tak pernah tahu bagaimana manis, pahit, atau asamnya permen itu. Dan kurasa aku tak akan pernah tahu.
Permen itu selalu memberiku perasaan yang berbeda. Ia kerap kali menghiburku dengan caranya yang tak pernah kusuka sama sekali. Ia juga tak sedikit membuatku merasa muak dan ingin menangis. Aku sering marah padanya, aku tak suka dan merasa ingin meremasnya lalu  melemparkannya sejauh mungkin. Sering aku membuangnya dengan sengaja dan berlagak tak membutuhkannya, tapi pada akhirnya aku selalu memungutnya kembali sebelum lima menit.
Kini permen itu tak lagi dalam genggamanku, aku telah kehilangannya tanpa tahu bagaimana cara ia bisa hilang dan jatuh dari tanganku. Permen itu mungkin berada dalam genggaman tangan lain sekarang atau mungkin juga seseorang telah sengaja mencurinya dariku. Aku tak tahu seberapa berharganya sebuah permen itu sampai aku telah benar-benar kehilangannya sekarang.  Anehnya, tanganku yang biasa menggegamnya ini masih dapat merasakan kehangatannya yang meringkuk di genggamanku.
Aku kehilangan permen yang bahkan tidak berani kusebut sebagai permenku. Mungkin aku juga tidak pantas menyebutnya sebagai kehilangan kerena sejujurnya permen itu tak pernah menjadi milikku. Permen yang selama ini kugenggam telah jatuh dalam tangan orang lain dan tak mungkin bagi tanganku yang bahkan tak kuasa mendekapnya ini untuk merebutnya kembali. Permen itu mungkin telah kembali pada pemiliknya, pemilik yang sama sekali tidak pernah mengucapkan terima kasih pada aku yang selama ini menjaga dan merawatnya.
Sebuah permen menghilang dari genggaman tanganku.
Sebuah permen yang kini berada dalam genggaman tangan orang lain, tak pernah mengucapkan salam perpisahannya padaku.


Dear Jomblo,... Karena Aku Sayang Jomblo

DEAR JOMBLO

Dear Jomblo,
Abad ke-22...jaman semakin canggih, teknologi makin oke, ilmu pengetahuan semakin berkembang, SDM meningkat tentunya. Gaya hidup manusia menjadi semakin beragam dan bermacam-macam, banyak mode baru yang bermunculan sehingga membuat orang yang mengikutinya menjadi bingung untuk memilih mode mana yang akan diikuti. Tapi dibalik banyaknya gaya/mode hidup yang bermunculan tersebut, kebutuhan manusia menjadi semakin meningkat pula. Gaya hidup baru menjadi sebuah kebutuhan baru di tengah-tengah gejolak globalisasi yang kian memanas. 
Bagi remaja di era globalisasi ini,  gaya hidup baru ini menjadi sangat penting mengingat  mereka harus menjaga keeksissan mereka, mengikuti perkembangan jaman menjadi sesuatu yang wajib dilakukan oleh para remaja. Contoh yang paling mudah adalah 'kalau mau jadi remaja masa kini yang nggak kuper maka harus punya pacar' .
Kita lihat  saja sekarang ini, mana ada sih remaja yang nggak punya pacar..*ada kok, nih author, jomblo sejomblo jomblonya* , dari anak SD sampai mahasiswa punya pacar sudah menjadi hal yang biasa. Coba kita tengok kanan kiri kita, sekarang ini mana ada sih anak/remaja yang pergi tanpa pacarnya *author mengacungkan tangan lagi*  kemana-mana pasti berdua dengan pacarnya. Sekarang nyari orang pacaran nggak susah kok..nggak harus ke taman bunga yang indah dulu buat nemu orang pacaran, di pusat-pusat perbelanjaan, di toko buku, restoran , cafe, sekolah, kampus, terminal, stasiun, bandara, pelabuhan *yang ini author belum pernah liat sih sebenarnya soalnya belum pernah ke pelabuhan "p* , halte bus, di dalam angkutan umum,  di pinggir jalan , di atas sepeda motor, bahkan di depan toilet umum pun ada orang  pacaran, ibaratnya dari Sabang sampai Merauke pasti ada aja orang pacaran. Mereka nggak malu lagi buat pacaran di depan umum, malah mereka terkesan memberitahu orang lain atau lebih tepatnya pamer ke orang-orang kalau mereka sudah laku karena mereka sudah punya pacar.
Tapi apa berarti di jaman sekarang ini sudah tidak ada lagi orang atau remaja yang nggak punya pacar? Dan kalaupun ada, apa berarti mereka tidak laku? *author nyesek sebenernya bilang nggak laku*
Orang yang nggak punya pacar di jaman sekarang ini? Ya banyaklah..contohnya author, kalau nggak..ngapain author susah-susah nemu ide buat nulis kayak begini.  Dan bukan berarti juga kalau yang nggak punya pacar itu nggak laku, bisa jadi orang itu sendiri yang memilih untuk nggak pacaran dulu, atau mungkin memang keadaannya aja yang belum pas atau mereka belum nemu sama orang sesuai aja, belum ketemu jodoh bisa jadi, alasan klasik sih sebenernya. Yah,,,apapun itu,  orang yang nggak punya pacar alias jom to the blo itu bukan berarti mereka nggak laku. Suatu saat pasti  mereka  juga akan mememukan orang yang akan menerima mereka sebagai pacar...dan kalaupaun pada akhirnya tetap nggak dapat  pacar, nggak usah takut, nggak usah frustasi apalagi sampai bunuh diri..nggak dapet pacar bukan berarti kiamat guys...kalaupun kita nggak dapet pacar bukan berarti nggak dapet jodoh, mungkin Tuhan cuma nggak mengjinkan kita pacaran, tapi nggak mungkin kalau Tuhan sampai nggak memberi kita jodoh, karena kita diciptakan di dunia ini secara berpasang-pasangan, itu sih kata firman yang pernah author baca dimana gitu, sebagai orang yang beragama boleh donk percaya...
Lagian orang pacaran apa menjamin masa depan cerah sih? Menjamin kalau kita bakal dapet jodoh yang terbaik dari yang terbaik dan bisa berumah tangga secara sempurna gitu? Belum tentu kali..memang iya sih punya hubungan sebelum menikah itu membantu banget dari segi pengalaman, tapi  nggak semuanya bakal sempurna juga...dan juga bukan berarti orang yang nggak punya pengalaman pacaran itu akan mengalami kegagalan dalam berumah tangga atau tidak bisa membina hubungan dengan baik. Harmonisnya suatu rumah tangga dan terbinanya hubungan yang baik itu bergantung sama masing-masing pribadi yang  menjalakan guys..intinya nggak ada hubungannya sama pengalaman pacaran.
Sejauh ini dalam benak author masih terbayang-bayang banyak pertanyaan mengenai sebenarnya apa sih hebatnya punya pacar? Biar dapat ojek gratis gitu? Dianterin  kemana-mana dan diantar jemput sama yayank  sekalian pamer ke tetengga kalau pacarnya sayang sama 'gue' karena mau disuruh antar jemput dan jadi ojek gratis gitu...?  Kalau kayak gitu yakin si yayank tulus jadi ojek kita? Kalau kayak gitu mah ngapain susah-susah nyari pacar yang sayang sama kita, tukang ojek banyak tuh.. Atau punya pacar cuma biar bisa ada yang nganter makan dan jajan secara delivery gitu...itu pacar atau tukang katering guys? Jaman sekarang mah gitu, pacar nggak ada bedanya sama tukang ojek dan tukang katering. Garing guys, hidup ngandelin orang lain itu kayak kopi yang nggak pahit alias manis. Dimana-mana yang namanya kopi itu rasanya pahit, nah..kalau mau manis kita tinggal ngasih gula, susu, atau creamer sesuai selera dan persediaan. Ngasihnya pun nggak usah berlebihan, ntar rasa asli kopinya jadi ilang, kan bukan kopi lagi namanya kalau rasa kopinya nggak ada.  Ngasihnya juga nggak usah maksa guys, kalau cuma ada gula ya kasih aja gula, adanya creamer ya kasih aja creamer, nggak usah maksa dikasih gula, creamer dan susu sekaligus...kan aneh ntar rasanya, atau adanya cuma gula tapi maksa mau ngasih susu atau creamer..dapat darimana guys, masak mau nyuri sih..kan entar jadi nggak enak kalau pakai punya orang lain, rasanya sih emang bisa jadi mantap, tapi perasaannya guys yang enggak enak, terbebani dosa kan, berat... Kalau mau enak ya kan butuh usaha, dan usaha itu butuh proses..mi instant aja butuh diseduh kok biar enak dimakan..
Intinya genks, pacar itu nggak usah diada-adain.. Kalau jomblo ya jomblo aja, kalau udah punya pacar ya nggak usah disombongin, nggak usah dipamer-pamerin..kan kasiahan yang jomblo *ehhhhh???*  
Buat para jomblo, tenang mblo...sendiri itu nggak terus-terusan menyedihkan kok, dengan kesendirian kita bisa tahu dan bisa belajar untuk menyayangi diri kita sendiri, kita bisa intropeksi diri dan memperbaiki diri supaya bisa lebih baik lagi, sendiri itu juga bisa memotivasi kok...kesendirian itu bisa melahirkan ide-ide cemerlang yang sebelumnya belum pernah kita pikirin loh..pokoknya soal sendiri menyendiri, jomblo menjomblo, tanya deh sama author..hehehe.
Author nulis gini bukan berati author iri hati ya sama yang punya pacar, Cuma..author pengen nulis aja apa yang author tahu dan author rasa, soalnya belakangan ini dalam kehidupan nyata senyata-nyatanya author..fenomena jomblo lagi ngehits banget, banyak temen-temen author *termasuk author sendiri* yang jadi korban bully gara-gara jomblo, nggak serius sih..Cuma buat iseng-iseng aja. Nah, itu kan artinya hidup tanpa jomblo itu garing guys, nggak seru...mereka yang punya pacar itu sebenernya membutuhkan para jomblo guys...buat cadangan *eh, keceplosan!!!* hahaha, bercanda dink...biar jomblo kan terhormat guys, jangan mau jadi cadangan.
Cukup deh, buat yang baca, salam jomblo aja :P, oki doki.....